Kolega saya, Anne Khaled, sedang mencoba menyelesaikan tulisannya tentang pengukuran kompetensi siswa dengan menggunakan self-rating dari siswa. Kompetensi yang diukur disini lebih generik semisal kompetensi merencanakan, kompetensi berdiskusi dan bekerjasama, dan lain sebagainya. Kompetensi-kompetensi itu dijabarkan dari National Qualification Framework, yang kalau di Indonesia adalah dari SKKNI.
Cara yang dilakukan kolega saya adalah dengan melibatkan 351 siswa di perguruan tinggi (tertiary education), baik yang akademik maupun vokasi. Siswa diminta untuk menilai 4 kompetensi mereka dengan rentang skor 1 - 10 yang masing-masing kompetensi memiliki indikator yang konkrit. Setelah dilakukan piloting untuk uji keterbacaan, 'kenyambungan', dan
Dari response 351 siswa tersebut diuji lai validitas konstraknya dengan menggunakan principal component analysis. Parallel analysis digunakan untuk melihat indikator mana saja yang bisa harus dihilangkan. The robustness of the components was explored by comparing cluster
patterns of indicators across groups.
Kesimpulan yang diajukan oleh kolega saya adalah bahwa temuannya menunjukkan 'promising possibilities for valid and robust
competency self-reports and cross-level comparisons'. Competency
constructs that are concrete and easy to relate to specific situations seem to
be more valid and robust than more abstract ones. Jadi ketika membuat indikator-indikator untuk students' self-report harus dipertimbangkan dengan baik kejelasan/konkrit indikator-indikator yang dipakai.
Mudah-mudahan tulisannya bisa segera dipublish.
Zainzoan Zone
Kumpulan tulisan tentang pengalaman, pendidikan dan selingan ringan. Menulis adalah bagian proses dari pendidikan dan berbagi adalah untuk pendidikan yang lebih baik.
Selasa, Juli 16, 2013
Kamis, Maret 07, 2013
Kurikulum 2013
Tulisan dari Kompas, saya salin di sini agar memudahkan pencarian di kemudian hari.
Kurikulum 2013
Mohammad Nuh, Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan RI
Kompas, 7 Maret 2013, Hal. 6
Dalam beberapa bulan
terakhir, harian Kompas memuat tulisan dari mereka yang pro ataupun kontra
terhadap rencana implementasi Kurikulum 2013. Saya menyampaikan ucapan terima
kasih dan penghargaan yang tinggi atas berbagai pandangan tersebut.
Saya berkesimpulan,
mereka yang mempertanyakan Kurikulum 2013 adalah karena ada perbedaan cara
pandang atau belum memahami secara utuh konsep kurikulum berbasis kompetensi
yang menjadi dasar Kurikulum 2013. Secara falsafati, pendidikan adalah proses
panjang dan berkelanjutan untuk mentransformasikan peserta didik menjadi
manusia yang sesuai dengan tujuan penciptaannya, yaitu bermanfaat bagi dirinya,
bagi sesama, bagi alam semesta, beserta segenap isi dan peradabannya.
Dalam UU Sisdiknas,
menjadi bermanfaat itu dirumuskan dalam indikator strategis, seperti
beriman-bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dalam memenuhi
kebutuhan kompetensi abad ke-21, UU Sisdiknas juga memberikan arahan yang jelas
bahwa tujuan pendidikan harus dicapai salah satunya melalui penerapan kurikulum
berbasis kompetensi. Kompetensi lulusan program pendidikan harus mencakup tiga
kompetensi, yakni sikap, pengetahuan, dan keterampilan, sehingga yang
dihasilkan adalah manusia seutuhnya. Dengan demikian, tujuan pendidikan
nasional perlu dijabarkan menjadi himpunan kompetensi dalam tiga ranah
kompetensi (sikap, pengetahuan, dan keterampilan). Di dalamnya terdapat
sejumlah kompetensi yang harus dimiliki seseorang agar dapat menjadi orang
beriman dan bertakwa, berilmu, dan seterusnya.
Mengingat pendidikan
idealnya proses sepanjang hayat, maka lulusan atau keluaran dari suatu proses
pendidikan tertentu harus dipastikan memiliki kompetensi yang diperlukan untuk
melanjutkan pendidikannya secara mandiri sehingga esensi tujuan pendidikan
tercapai.
Perencanaan pembelajaran
Dalam usaha menciptakan
sistem perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian yang baik, proses panjang
tersebut dibagi beberapa jenjang, berdasarkan perkembangan dan kebutuhan
peserta didik. Setiap jenjang dirancang memiliki proses sesuai perkembangan dan
kebutuhan peserta didik sehingga ketidakseimbangan antara input yang diberikan
dan kapasitas pemrosesan dapat diminimalkan. Sebagai konsekuensi dari
penjenjangan ini, tujuan pendidikan harus dibagi-bagi menjadi tujuan antara.
Pada dasarnya, kurikulum merupakan perencanaan pembelajaran yang dirancang
berdasarkan tujuan antara di atas. Proses perancangannya diawali dengan
menentukan kompetensi lulusan (standar kompetensi lulusan). Hasilnya, kurikulum
jenjang satuan pendidikan.
Dalam teori manajemen,
sebagai sistem perencanaan pembelajaran yang baik, kurikulum harus mencakup
empat hal. Pertama, hasil akhir pendidikan yang harus dicapai peserta didik
(keluaran), dan dirumuskan sebagai kompetensi lulusan. Kedua, kandungan materi
yang harus diajarkan kepada, dan dipelajari oleh peserta didik (masukan/standar
isi), dalam usaha membentuk kompetensi lulusan yang diinginkan. Ketiga,
pelaksanaan pembelajaran (proses, termasuk metodologi pembelajaran sebagai
bagian dari standar proses) supaya ketiga kompetensi yang diinginkan terbentuk
pada diri peserta didik. Keempat, penilaian kesesuaian proses dan ketercapaian
tujuan pembelajaran sedini mungkin untuk memastikan bahwa masukan, proses, dan
keluaran tersebut sesuai dengan rencana.
Dengan konsep kurikulum
berbasis kompetensi, tak tepat jika ada yang menyampaikan bahwa pemerintah
salah sasaran saat merencanakan perubahan kurikulum karena yang perlu
diperbaiki sebenarnya metodologi pembelajaran, bukan kurikulum (Mohammad
Abduhzen, "Urgensi Kurikulum 2013", Kompas 21/2 dan
"Implementasi Pendidikan", Kompas 6/3). Hal ini menunjukkan belum
dipahaminya secara utuh bahwa kurikulum berbasis kompetensi mencakup metodologi
pembelajaran. Tanpa metodologi pembelajaran yang sesuai, tak akan terbentuk
kompetensi yang diharapkan. Sebagai contoh, dalam Kurikulum 2013, kompetensi
lulusan dalam ranah keterampilan untuk SD dirumuskan sebagai "memiliki
(melalui mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyaji, menalar, mencipta)
kemampuan pikir dan tindak yang produktif dan kreatif, dalam ranah konkret dan
abstrak, sesuai yang ditugaskan kepadanya."
Kompetensi semacam ini
tak akan tercapai bila pengertian kurikulum diartikan sempit, tak termasuk
metodologi pembelajaran. Proses pembentukan kompetensi itu sudah dirumuskan
dengan baik melalui kajian para peneliti, dan akhirnya diterima luas sebagai
suatu taksonomi. Pemikiran pengembangan Kurikulum 2013 seperti diuraikan di
atas dikembangkan atas dasar taksonomi-taksonomi yang diterima secara luas,
kajian KBK 2004 dan KTSP 2006, dan tantangan abad ke-21 serta penyiapan
Generasi 2045. Dengan demikian, tidaklah tepat apa yang disampaikan Elin
Driana, "Gawat Darurat Pendidikan" (Kompas, 14/12/2012) yang
mengharapkan sebelum Kurikulum 2013 disahkan, baiknya dilakukan evaluasi
terhadap kurikulum sebelumnya.
Mengatakan tak ada
masalah dengan kurikulum saat ini adalah kurang tepat. Sebagai contoh, hasil
pembandingan antara materi TIMSS 2011 dan materi kurikulum saat ini, untuk mata
pelajaran Matematika dan IPA, menunjukkan, kurang dari 70 persen materi TIMSS
yang telah diajarkan sampai dengan kelas VIII SMP. Belum lagi rumusan
kompetensi yang belum sesuai tuntutan UU dan praktik terbaik di dunia,
ketidaksesuaian materi mata pelajaran dan tumpang tindih yang tak diperlukan
pada beberapa materi mata pelajaran, kecepatan pembelajaran yang tak selaras
antarmata pelajaran, dangkalnya materi, proses, dan penilaian pembelajaran,
sehingga peserta didik kurang dilatih bernalar dan berpikir.
Kompetensi inti
Kompetensi lulusan
jenjang satuan pendidikan pun masih memerlukan rencana pendidikan yang panjang
untuk pencapaiannya. Sekali lagi, teori manajemen mengajarkan, untuk memudahkan
proses perencanaan dan pengendaliannya, pencapaian jangka panjang perlu
dibagi-bagi jadi beberapa tahap sesuai jenjang kelas di mana kurikulum tersebut
diterapkan.
Sejalan dengan UU,
kompetensi inti ibarat anak tangga yang harus ditapak peserta didik untuk
sampai pada kompetensi lulusan jenjang satuan pendidikan. Kompetensi inti
meningkat seiring meningkatnya usia peserta didik yang dinyatakan dengan
meningkatnya kelas.
Melalui kompetensi inti,
sebagai anak tangga menuju ke kompetensi lulusan, integrasi vertikal
antarkompetensi dasar dapat dijamin, dan peningkatan kemampuan peserta dari
kelas ke kelas dapat direncanakan. Sebagai anak tangga menuju ke kompetensi
lulusan multidimensi, kompetensi inti juga multidimensi. Untuk kemudahan
operasionalnya, kompetensi lulusan pada ranah sikap dipecah menjadi dua, yaitu
sikap spiritual terkait tujuan membentuk peserta didik yang beriman dan
bertakwa, dan kompetensi sikap sosial terkait tujuan membentuk peserta didik
yang berakhlak mulia, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab.
Kompetensi inti bukan
untuk diajarkan, melainkan untuk dibentuk melalui pembelajaran mata
pelajaran-mata pelajaran yang relevan. Setiap mata pelajaran harus tunduk pada
kompetensi inti yang telah dirumuskan. Dengan kata lain, semua mata pelajaran
yang diajarkan dan dipelajari pada kelas tersebut harus berkontribusi terhadap
pembentukan kompetensi inti.
Ibaratnya, kompetensi
inti merupakan pengikat kompetensi-kompetensi yang harus dihasilkan dengan
mempelajari setiap mata pelajaran. Di sini kompetensi inti berperan sebagai
integrator horizontal antarmata pelajaran. Dengan pengertian ini, kompetensi
inti adalah bebas dari mata pelajaran karena tidak mewakili mata pelajaran
tertentu. Kompetensi inti merupakan kebutuhan kompetensi peserta didik,
sedangkan mata pelajaran adalah pasokan kompetensi dasar yang akan diserap
peserta didik melalui proses pembelajaran yang tepat menjadi kompetensi inti.
Bila pengertian kompetensi inti telah dipahami dengan baik, tentunya tidak akan
ada kritikan bahwa Kurikulum 2013 adalah salah dengan alasan pada
"Kompetensi Inti Bahasa Indonesia" tidak terdapat kompetensi yang
mencerminkan kompetensi Bahasa Indonesia karena memang tak ada yang namanya
kompetensi inti Bahasa Indonesia, sebagaimana dipertanyakan Acep Iwan Saidi,
"Petisi untuk Wapres" (Kompas, 2/3).
Dalam mendukung
kompetensi inti, capaian pembelajaran mata pelajaran diuraikan menjadi
kompetensi dasar-kompetensi dasar yang dikelompokkan menjadi empat. Ini sesuai
dengan rumusan kompetensi inti yang didukungnya, yaitu dalam kelompok
kompetensi sikap spiritual, kompetensi sikap sosial, kompetensi pengetahuan,
dan kompetensi keterampilan.
Uraian kompetensi dasar
sedetail ini adalah untuk memastikan capaian pembelajaran tidak berhenti sampai
pengetahuan saja, melainkan harus berlanjut ke keterampilan, dan bermuara pada
sikap. Kompetensi dasar dalam kelompok kompetensi inti sikap bukanlah untuk
peserta didik karena kompetensi ini tidak diajarkan, tidak dihapalkan, tidak
diujikan, tapi sebagai pegangan bagi pendidik, bahwa dalam mengajarkan mata
pelajaran tersebut ada pesan-pesan sosial dan spiritual yang terkandung dalam
materinya.
Apabila konsep
pembentukan kompetensi ini dipahami dapat mengurangi, bahkan menghilangkan,
kegelisahan yang disampaikan L Wilardjo dalam "Yang Indah dan yang
Absurd" (Kompas, 22/2).
Kedudukan bahasa
Uraian rumusan
kompetensi seperti itu masih belum cukup untuk dapat digunakan, terutama saat
merancang kurikulum SD (jenjang sekolah paling rendah), tempat peserta didik
mulai diperkenalkan banyak kompetensi untuk dikuasai. Pada saat memulainya pun,
peserta didik SD masih belum terlatih berpikir abstrak. Dalam kondisi seperti
inilah, maka terlebih dulu perlu dibentuk suatu saluran yang menghubungkan
sumber-sumber kompetensi, yang sebagian besarnya abstrak, kepada peserta didik
yang masih mulai belajar berpikir abstrak. Di sini peran bahasa menjadi
dominan, yaitu sebagai saluran mengantarkan kandungan materi dari semua sumber
kompetensi kepada peserta didik.
Usaha membentuk saluran
sempurna (perfect channels dalam teknologi komunikasi) dapat dilakukan dengan
menempatkan bahasa sebagai penghela mata pelajaran-mata pelajaran lain. Dengan
kata lain, kandungan materi mata pelajaran lain dijadikan sebagai konteks dalam
penggunaan jenis teks yang sesuai dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Melalui
pembelajaran tematik integratif dan perumusan kompetensi inti, sebagai pengikat
semua kompetensi dasar, pemaduan ini akan dapat dengan mudah direalisasikan.
Dengan cara ini pula,
pembelajaran Bahasa Indonesia dapat dibuat menjadi kontekstual, sesuatu yang
hilang pada model pembelajaran Bahasa Indonesia saat ini, sehingga pembelajaran
Bahasa Indonesia kurang diminati pendidik dan peserta didik. Melalui
pembelajaran Bahasa Indonesia yang kontekstual, peserta didik sekaligus dilatih
menyajikan bermacam kompetensi dasar secara logis dan sistematis. Mengatakan
kompetensi dasar Bahasa Indonesia SD, yang memuat penyusunan teks untuk
menjelaskan pemahaman peserta didik, terhadap ilmu pengetahuan alam sebagai
mengada-ada (Acep Iwan Saidi, "Petisi untuk Wapres"), sama saja
dengan melupakan fungsi bahasa sebagai pembawa kandungan ilmu pengetahuan.
Kurikulum 2013 adalah
kurikulum berbasis kompetensi yang pernah digagas dalam Rintisan Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK) 2004, tetapi belum terselesaikan karena desakan untuk
segera mengimplementasikan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 2006. Rumusannya
berdasarkan sudut pandang yang berbeda dengan kurikulum berbasis materi
sehingga sangat dimungkinkan terjadi perbedaan persepsi tentang bagaimana
kurikulum seharusnya dirancang. Perbedaan ini menyebabkan munculnya berbagai
kritik dari yang terbiasa menggunakan kurikulum berbasis materi. Untuk itu, ada
baiknya memahami lebih dahulu konstruksi kompetensi dalam kurikulum sesuai
koridor yang telah digariskan UU Sisdiknas sebelum mengkritik.**
Langganan:
Postingan (Atom)